Pengembangan Pendidikan Agama Islam pada sekolah (madrasah) mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) terutama pada standar isi, standar proses pembelajaran, standar pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana pendidikan.
Pengembangan
Pendidikan Agama Islam pada sekolah (madrasah) juga mengimplementasikan
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan, bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk,
pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama Islam
di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan
umum berciri Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal,
serta informal. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada berbagai satuan
pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang diselenggarakan pada jalur formal,
dan non formal, serta informal.
Pengembangan
kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah (madrasah) diarahkan pada
peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agama Islam pada sekolah dengan
perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan
peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum adalah pembinaan
atas satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam
tingkat satuan pendidikan.
Pendidikan
Agama Islam (PAI) di sekolah yang sedang berlangsung belum semuanya memenuhi
harapan kita sebagai umat Islam mengingat kondisi dan kendala yang dihadapi,
maka diperlukan pedoman dan pegangan dalam membina pendidikan agama Islam. Ini
semua mengacu pada usaha strategis pada rencana strategis kebijakan umum
Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam Departemen Agama yaitu peningkatan
mutu khusus mengenai pendidikan agama Islam di sekolah (madrasah), peningkatan
mutu itu sendiri terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran
pendidikan agama Islam pada peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah.
Mutu itu sendiri sebetulnya sesuatu yang memenuhi harapan-harapan kita. Artinya
kalau pendidikan itu bermutu hasilnya memenuhi harapan-harapan dan
keinginan-keinginan kita. Kita bukan hanya sebagai pengelola, tetapi juga
sebagai pelaksana bersama semua pemangku kepentingan (stakeholder)
termasuk masyarakat, orang tua. Dalam kenyataan pendidikan agama Islam di
sekolah masih banyak hal yang belum memenuhi harapan.
Misalnya
kalau guru memberikan pendidikan agama Islam kepada peserta didik, maka tentu
yang kita inginkan adalah peserta didik bukan hanya mengerti tetapi juga dapat
melaksanakan praktek-praktek ajaran Islam baik yang bersifat pokok untuk
dirinya maupun yang bersifat kemasyarakatan. Karena di dalam pendidikan agama
Islam bukan hanya memperhatikan aspek kognitif saja, tetapi juga sikap dan
keterampilan peserta didik.
Peserta
didik yang mendapatkan nilai kognitifnya bagus belum bisa dikatakan telah
berhasil jika nikai sikap dan keterampilannya kurang. Begitu pula sebaliknya,
jika sikap dan/atau keterampilannya bagus tetapi kognitifnya kurang, belum bisa
dikatakan pendidikan agama Islam itu berhasil. Inilah yang belum memenuhi
harapan dan keinginan kita. Contoh lainnya, hampir sebagian besar umat Islam
menginginkan peserta didiknya bisa membaca Al Quran, namun bisakah orang tua
mengandalkan kepada sekolah agar peserta didiknya bisa membaca Al Quran,
praktek pendidikan agama Islam di sekolah, bisa mengerti dan mampu melaksanakan
pokok-pokok ajaran agama atau kewajiban-kewajiban ‘ainiyah seperti syarat dan
rukun shalat. Maka sekolah nampaknya belum bisa memberikan harapan itu karena
terbatasnya waktu alokasi atau jam pelajaran di sekolah.
Penyelenggaraan
pendidikan agama Islam di sekolah penuh tantangan, karena secara formal
penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah hanya 2 jam pelajaran per minggu.
Jadi apa yang bisa mereka peroleh dalam pendidikan yang hanya 2 jam pelajaran.
Jika sebatas hanya memberikan pengajaran agama Islam yang lebih menekankan
aspek kognitif, mungkin guru bisa melakukannya, tetapi kalau memberikan
pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif tetapi juga sikap dan
keterampilan, guru akan mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa sekarang di
kota-kota pada umumnya mengandalkan pendidikan Islam di sekolah saja, karena
orang-orangnya sibuk dan jarang sekali tempat-tempat yang memungkinan mereka
belajar agama Islam. Jadi guru ini kalau dipercaya untuk mendidik pendidikan
agama Islam di sekolah, keislaman mereka ini adalah tanggung jawab moral. Oleh
karena itu jangan hanya mengandalkan guru-guru yang hanya mengajar di sekolah
saja, akan lebih baik apabila menciptakan berbagai kegiatan ekstra kurikuler
yang memungkinkan mereka bisa belajar agama Islam lebih banyak lagi.
Pelaksanaan
pendidikan agama Islam di sekolah bagi peserta didik mengandalkan pendidikan
agamanya hanya dari sekolah. Namun bagi peserta didik yang tinggal di daerah
yang ada madrasah diniyah atau pesantren mengikuti pendidikan agama Islam di
sekolah tidak terlalu banyak menghadapi masalah, karena mereka bisa sekolah dan
bisa juga belajar agama Islam di diniyah atau pesantren. Tetapi kondisi semacam
ini pada masa sekarang sudah sulit dijumpai. Ada beberapa kemungkinan yang
dihadapi oleh peserta didik, yaitu peserta didik belajar agama Islam dari sisa
waktu yang dimiliki oleh orang tuanya. Peserta didik belajar agama Islam dengan
mengundang ustadz ke rumahnya. Ada pula peserta didik yang hanya mengandalkan
pendidikan agama Islam dari sekolahnya tanpa mendapatkan tambahan belajar agama
dari tempat lain. Dalam pendidikan agama Islam banyak yang mesti dikuasai oleh
peserta didik, seperti berkaitan dengan pengetahuan, penanaman akidah, praktek
ibadah, pembinaan perilaku atau yang dalam Undang-Undang disebut pembinaan
akhlak mulia.
Kendala
dan tantangan dalam pelaksanaan pembelajaran agama Islam di sekolah antara lain
karena waktunya sangat terbatas, yaitu hanya 2 jam pelajaran per minggu.
Menghadapi kendala dan tantangan ini, maka guru yang menjadi ujung tombak pembelajaran
di lapangan/sekolah, perlu merumuskan model pembelajaran sebagai implementasi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), khususnya kurikulum mikro pada
kurikulum agama Islam di sekolah. Cara yang bisa ditempuh guru dalam menambah
pembelajaran pendidikan agama Islam melalui pembelajaran ekstra kurikuler dan
tidak hanya pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran dilakukan bisa di
sekolah, yaitu di kelas atau di mushala. Bisa pula di rumah atau tempat yang
disetujui. Waktu belajarnya tentu diluar jam pelajaran formal. Cara ini memang
membutuhkan tambahan fasilitas, waktu, dan tenaga guru, tapi itulah tantangan
guru yang tidak hanya mengajar tetapi memiliki semangat dakwah untuk
menyebarkan ilmu di mana pun dan kapan pun. Untuk itu diperlukan koordinasi dan
kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua.
Gambaran
umum tentang mutu pendikan pendidikan agama Islam di sekolah belum memenuhi
harapan-harapan dalam peningkatan kualitas pendidikan agama Islam di sekolah
yang menjadi agama sebagai benteng moral bangsa. Kondisi ini dipengaruhi
sekurang-kurangnya oleh tiga faktor, yaitu pertama sumber daya guru, kedua
pelaksanaan pendidikan agama Islam, dan ketiga terkait dengan kegiatan evaluasi
dan pengujian tentang pendidikan agama Islam di sekolah.
A.
Sumber
daya manusia berupa guru.
Pendidikan
mutu guru sebagai pendidik dan tenaga kependikan dilaksanakan dengan mengacu
pada standar pendidik dan tenaga kependidikan mata pelajaran dalam Standar
Nasional Pendidikan (SNP). Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan penyediaan
guru pendidikan agama Islam untuk satuan pendidikan peserta didik usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal
dan non formal, serta informal. Dilakukan pula pendidikan dan pelatihan metode
pembelajaran pendidikan agama Islam, pemberian bea peserta didik Strata 1 (S –
1) untuk guru pendidikan agama Islam, dan juga melakukan sertifikasi guru
pendidikan agama Islam.
Guru
pendidikan agama Islam di sekolah dilihat dari segi latar belakang pendidikan
kira-kira 60% khususnya sudah mencapai S – 1 dari berbagai lembaga pendidikan
tinggi. Namun lulusan S1 ini belum mejadikan guru yang bermutu dalam
menyampaikan pendidikan agama Islam. Oleh karena itu guru perlu dibina dalam
bentuk kelompok kerja guru mata pelajaran yang dikenal dengan Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP) untuk meningkatkan kemampuannya, karena peningkatan
kemampuan itu harus dilakukan secara terus-menerus, belajar sepanjang hayat,
minal mahdi ilallahdi. Apalagi zaman sekarang perkembangan ilmu pengetahuan
sangat pesat yang jika tidak diikuti maka guru akan ketinggalan informasi. Di
MGMP digunakan sebagai forum meningkatkan kemampuan secara internal melalui
upaya diskusi kelompok atau belajar kelompok.
Peningkatan
kemampuan guru juga diberikan kepada guru-guru yang belum mencapai gelar S – 1
sesuai dengan Undang-Undang yaitu memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan
tanpa banyak meninggalkan tugas-tugas di sekolah yaitu dengan merancang suatu
program pendidikan dualmode system. Dualmode system adalah dua modus belajar
yaitu menggunakan modul sebagai bahan belajar mandiri (BBM), kemudian ada
kuliah secara tatap muka di tempat yang sudah ditunjuk dan disepakati antara
mahasiswa dengan dosennya. Dualmode system itu hakekatnya sama dengan Universitas
Terbuka yang melaksanakan belajar jarak jauh, namun berbeda dengan kelas jauh
dari suatu perguruan tinggi. Kalau kelas jauh perguruan tinggi membuka kelas di
luar kampusnya, sehingga menyulitkan untuk mengontrol kualitas pembelajaran dan
kualitas lulusannya.
Program
belajar jarak jauh belajarnya menggunakan sarana atau alat, dengan alat
utamanya berupa modul. Jadi yang dipelajari adalah modul sebagai bahan kuliah.
Di dalam modul itu ada tujuan pembelajarannya yang harus dicapai setelah
menyelesaikan satu materi pelajaran, ada materi pelajaran yang diajarkannya
kemudian langsung dilengkapi dengan format evaluasinya. Mereka belajar sendiri
dan mengukur kemampuan sendiri. Tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka
diberikan kesempatan untuk berkumpul di suatu tempat yang ditentukan, kemudian
dosennya datang untuk memberikan respons, tanya jawab, diskusi, dan pengayaan
terhadap modul yang sudah dipelajari tersebut. Begitu pula ujiannya diisi
langsung oleh dosen. Inilah yang disebut dengan belajar jarak jauh plus tatap
muka.
Dengan
demikian guru-guru tidak terlalu berat meninggalkan waktu sekolah, tetapi tetap
harus datang ke tempat-tempat yang telah ditunjuk untuk kuliah tatap muka.
Secara Undang-Undang pun kegiatan ini legal, karena ada pasal atau Bab dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 31 dan SK
Mendiknas No. 107/U/2001 tentang PTJJ (Perguruan Tinggi Jarak Jauh). Dalam
Undang-Undang itu secara lebih spesifik mengizinkan penyelenggaraan pendidikan
di Indonesia untuk melaksanakan pendidikan melalui cara Perguruan Tinggi Jarak
Jauh dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, misalnya dengan
memanfaatkan perangkat komputer dengan internetnya seperti e-learning atau
e-mail. Belajar jarak jauh ini tidak boleh diselenggarakan atau dibuka oleh
perguruan tinggi yang tidak ditugasi, jadi harus dikendalikan atau
dikoordinasikan.
Ada
dua jalur/cara dalam rangka peningkatan kualitas kemampuan guru, pertama adanya
jalur resmi untuk mengikuti pendidikan S1, kedua yang rutin mengikuti
kegiatan-kegiatan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Dari kedua
jalur ini, diharapkan guru pendidikan agama Islam di sekolah tidak berjalan
begitu saja dan kemampuannya juga tidak meningkat. Sebagai orang Islam kita
berpegang kepada suatu kaidah yang menyatakan bahwa kalau hari ini lebih jelek
dari hari kemarin, maka celaka. Kalau hari ini sama dengan hari kemarin, maka
rugi, dan kalau hari ini lebih bagus dari hari kemarin, maka beruntung. Maka
harus ada upaya-upaya untuk terus menerus belajar minal mahdi ilallahdi. Dalam
salah satu hadits dinyatakan bahwa jadilah kalian orang yang mengajar, atau
jadilah orang-orang belajar atau kalau tidak kedua-duanya sekurang-kurangnya
mendengarkan. Janganlah jadi yang keempat yaitu tidak mengajar, tidak belajar,
dan tidak mendengar. Untuk itulah guru yang harus selalu meningkatkan kualitas
dirinya.
------------
Untuk
faktor kedua dan ketiga yang mempengaruhi mutu pendidikan agama islam di
sekolah (madrasah) akan dibahas di artikel selanjutnya: Pendidikan Agama Islam
di Sekolah (Bag. 2)
kurikulum yang bagus harus diimbangi pula dengan stakeholder2 yang bagus..
ReplyDeleteterimaksih untuk artikelnya..ssangat membantu sekali..
Zainul Mufidah Pendidikan Agama Islam FIAI UII
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar dengan bahasa santun