Makalah berjudul Profesionalisme Guru, dengan sub judul Tuntutan Paradigma Baru Pendidikan ini berusahan mengupas profesionalisme guru sebagai salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan.
Makalah ini pun mengupas tuntas tentang kondisi dunia pendidikan, utamanya madrasah, pengembangan profesionalisme guru, dan upaya meningkatkan profesionalisme guru. Inilah selengkapnya makalah berjudul “Profesionalisme Guru; Tuntutan Paradigma Baru Pendidikan”.
---------
Profesionalisme Guru; Tuntutan Paradigma Baru Pendidikan
Peran dan tugas guru merupakan salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, oleh karena itu keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Secara faktual masih banyak kita jumpai tenaga pendidik yang Miss-match and Underqualified, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan Islam (madrasah) atau sekolah-sekolah swasta ditambah lagi dengan segudang problem pendidikan yang tidak sedikit, mulai dari keterbatasan anggaran, sarana & prasarana pendidikan, masalah ekonomi, serta sulitnya memacu minat belajar siswa yang telah tererosi oleh budaya globalisasi dan modernisasi. Kurangnya profesionalisme guru dalam memberikan pelayanan pendidikan juga harus diakui sebagai faktor penting bagi keberhasilan pendidikan.
Philip H. Coombs dalam bukunya “What is Educational Planning?”, mengemukakan paling tidak ada 4 tahapan permasalahan yang dilewati dunia pendidikan, yaitu ;
- Tahap rekonstruksi, pendidikan dihadapkan pada permasalahan pengkondisian otoritas pendidikan, desentralisasi pendidikan, serta perencanaan fasilitas pendidikan;
- Tahap Ketenagakerjaan/Penyiapan SDM, pendidikan dihadapkan pada penyiapan tenaga kerja yang terampil dan cakap (tenaga ahli);
- Tahap Perluasan/Pengembangan pendidikan meliputi pengembangan kurikulum, metode, pengujian, demokrasi pendidikan, serta adaptasi sistem pendidikan dan ekonomi;
- Tahap Inovasi, berhubungan dengan perencanaan pendidikan dan strategi-strategi pengembangan.
Secara umum problematika yang dihadapi lembaga pendidikan di Indonesia memiliki beberapa kesamaan sebagaimana yang telah dideskripsikan oleh Philip H. Coombs di atas, antara lain :
Pertama, lemahnya management penyelenggaraan pendidikan. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan managerial para penyelenggara pendidikan yang masih dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang terbatas dan pengaruh budaya pedesaan yang cenderung mengacu pada pola management “alon-alon asal kelakon”.
Kedua, Bidang Sumber Daya Manusia/ tenaga Kependidikan. Masalah yang dihadapi adalah masih adanya tenaga pendidik atau guru yang mengajar kurang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (miss-match and underqualified), disamping itu masih banyak pula guru-guru swasta yang mempunyai peran ganda sebagai pengajar di lembaga pendidikan lain, sehingga kurang bisa berperan secara maksimal. Kondisi tenaga kependidikan –terutama profesionalisme guru- masih perlu mendapat perhatian serius karena hal ini juga akan berpengaruh terhadap out put pendidikan yang dihasilkan.
Menurut hasil penelitian dari Departemen Agama RI, bahwa semakin nampak persoalan yang dihadapi madrasah adalah guru yang Miss-match dan underqualified. 21,7 % dari total guru yang mengajar berstatus PNS, dan 78,3 % adalah non-PNS., 66,5 % memiliki spesialisasi pendidikan agama dan hanya 33,5 % yang memiliki spesialisasi pendidikan umum. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika, ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia, bahkan guru PAI mengajar Bahasa Inggris. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dalam menyampaikan materi sehingga mereka kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas. Diantara faktor yang menyebabkan kurangnya profesionalisme guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar professional yang mampu mengantisipasi tantangan dalam dunia pendidikan.
Ketiga, Bidang Kurikulum, permasalahan klasik yang dihadapi pada umumnya adalah ketidakmapanan kurikulum pendidikan. Pergantian kurikulum yang terlalu cepat dan kebelumsiapan tenaga-tenaga kependidikan menjadi faktor penyebab ketidakjelasan arah dan target kurikulum. Disisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut relevansi kurikulum pendidikan dengan dunia kerja. Out put yang dihasilkan pendidikan dipertanyakan, apalagi jika dihadapkan pada permasalahan IPTEK.
Keempat, Bidang Sarana dan Prasarana, keterbatasan finansial merupakan kendala utama bagi upaya pengembangan pendidikan. Terutama adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan, baik fisik maupun non-fisik. Seperti terbatasnya fasilitas belajar mengajar, buku-buku teks, alat peraga, ruang praktikum, dsb. Apalagi kalau kita melihat alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih jauh dari amanat Undang-Undang yakni 20 % dari APBN. Lebih tragis lagi kalau kita melihat anggaran pendidikan untuk madrasah yang hanya berasal dari anggaran keagamaan, berbeda dengan sekolah umum di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional, bagaimana mungkin mencukupi kebutuhan-kebutuhan penunjang pendidikan, sementara untuk kelangsungan penyelenggaraan pendidikan saja masih ditopang oleh bantuan masyarakat, walaupun sekarang ada Bantuan Operasional Siswa (BOS) yang hanya cukup untuk membiayai operasional pendidikan.
Kelima, masalah Networking / pengembangan jaringan.
Pengembangan Profesionalisme Guru
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, social, emosional dan ketrampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai professional.
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki ketrampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Untuk menjadi guru yang memiliki atribut professional yang tinggi seorang guru dituntut untuk memiliki cirri lima hal :
- Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya;
- Guru menguasai secara mendalam bahan (mata pelajaran) yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa;
- Guru bertanggungjawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi;
- Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya;
- Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang professional dipersyaratkan sebagai berikut :
- Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
- Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
- Pengembangan kemampuan professional berkesinambungan antara LPTK dengan praktik pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang professional di abad 21, yaitu :
- Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang;
- Penguasaan ilmu yang kuat;
- Ketrampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi;
- Pengembangan profesi secara berkesinambungan .
Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang professional.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informatory, komunikator, transformator, change agent, innovator, konselor, evaluator dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Akadun (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah. Selain dua masalah tersebut, faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain:
- masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada.
- rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan.
- pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan.
- masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru.
- belum adanya standar baku professional guru sebagaimana tuntutan di Negara-negara maju.
- kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
- masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggotanya.
Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
---------
Untuk pokok bahasan Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru sebagai bagian dari erakhir dari makalah Profesionalisme Guru; Tuntutan Paradigma Baru Pendidikan akan diuraikan dalam postingan berikutnya.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar dengan bahasa santun